Langsung ke konten utama

HUKUM PIDANA ISLAM PADA MASA KHULAFAURRASYIDIN

 

Gambar hanya Ilustrasi
                       

Sepeninggal Nabi Muhammad SAW posisinya sebagai Rasulullah SAW tidak dapat digantikan oleh siapapun (khatami al-anbiya wa almursalin) namun posisi keduanya sebagai pemimpin umat Islam harus segera digantikan. Yang kemudian dikenal sebagai Khalifah yaitu orang yang menggantikan Nabi (kepala umat Islam) dengan membimbing jalan yang benar dan menjaga hukum Islam.  juga sebagai pemimpin negara yang sah dan hukum pidana islam diatur dan diterapkan oleh negara.[1] serta pemimpin yang menjunjung tinggi kebenaran dan selalu berpijak pada kebenaran. Maka setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW para pemimpin umat Islam segera berunding untuk mencari pengganti Nabi SAW sebagai pemimpin negara. Sebelum jenazah Nabi SAW dimakamkan para sahabat berusaha memilih sebagai pemimpin agama dan penguasa negara. Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sahabat pertama yang terpilih sebagai penerus Nabi SAW. Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab yang kemudian pada tahun digantikan oleh Utsman bin Affan dan kemudian oleh Ali bin Abi Thalib.


A.    Hukum Pidana Islam Pada Masa Abu Bakar Ash Shiddiq

Pada masa pemerintahan Abu Bakar as Shiddiq keadaan umat Islam tidak jauh berbeda pada masa Nabi sehingga tampaknya tidak ada perkembangan dalam hukum Islam khususnya  dalam masalah keadilan. Keadaan keadilan pada masa pemerintahan Abu Bakar as Shiddiq relatif sama dengan pada zaman Nabi dan tidak ada yang berubah secara signifikan khususnya dalam profesi hukum. Hal ini disebabkan aktivitasnya terhadap beberapa Muslim yang murtad setelah kematian Nabi dan pembangkang yang tidak membayar zakat dan urusan politik dan pemerintahan lainnya di samping perluasan kekuasaan Muslim di era ke-6 ini.

 Sejarawan Tasyri menjelaskan bahwa ketika Abu Bakar dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang perlu diselesaikan perhatiannya tertuju pada isi Al-Quran. Jika dia menemukan hukum Allah dalam Al-Quran dia juga memecahkan masalah dengan hukum Allah. Tetapi jika tidak ada hukum Allah tentang masalah yang dihadapi maka dia memperhatikan sunnah Nabi atau pada keputusan yang pernah dibuat Nabi. Jika dia tidak menemukan sunnah Nabi maka dia bertanya kepada para ulama. Dia berkata kepada : “Saya menghadapi suatu perkara, maka apakah tuan-tuan ada mengetahui hukum Rasul terhadap perkara itu?”. Sering berkumpul di depannya beberapa sahabat. Jadi masing-masing dari mereka menjelaskan apa yang dia ketahui. Ketika Abu Bakar mendapat bukti dari orang-orang yang berhadapan dengan dia memuji Allah.[2]

Jika tidak ada yang tahu hukum Nabi dia memanggil pemimpin bersama untuk membahas keputusan yang akan diambil. Jika semua setuju untuk menetapkan hukum maka dia mematuhi keputusan. Ini adalah dasar ijma’.

Kebijakan hukum pidana di bawah Khalifah Abu Bakar:

·       Pada saat terjadi peristiwa keluarga suami istri menerima tamu laki-laki. Di luar dugaan perselingkuhan terjadi antara pria dan putri pasangan. Kasus ini dilaporkan ke Khalfah Abu Bakar Ash Shiddiq dan pada akhirnya Khalifah memutuskan bahwa kedua pelaku harus dihukum dengan 100 kali cambukan dan diasingkan selama setahun.

·       Saat itu terjadi insiden dua orang pria secara bersamaan melakukan tindakan homoseksual di Area dibawah Gubernur Khalid bin al-Walid. Jadi gubernur menulis surat kepada Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq meminta hukuman hukum terhadap pelaku homoseksualitas. Khalifah akhirnya berkonsultasi dengan Ali bin Abi Thalib Sahabat itu ahli hukum; dan Ali percaya hukuman mati harus dilaksanakan. Pandangan ini dianut oleh Khalifah dan kemudian dikomunikasikan kepada Gubernur Khalid bin al-Walid.[3]

·        Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq mengadopsi kebijakan hukum bahwa amputasi tangan bagi pencuri dilakukan dengan mengamputasi pergelangan tangan.

·        Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq dulu menerapkan kebijakan undang-undang yaitu menetapkan hukuman mati (hukuman tazir) bagi orang yang menghina  dan mencela Nabi Muhammad.


B.    Hukum Pidana Islam Pada Masa Umar Bin Khattab

Sepeninggal Khalifah Abu Bakar kekuasaan pemerintahan pada tahun diserahkan kepada Umar bin Khattab. Selama masa pemerintahannya wilayah kekuasaan Muslim diperluas dan jumlah Muslim meningkat. Setelah itu beban yang dia hadapi semakin berat. Karena kemajuan yang sangat pesat ini lahirlah qadhi untuk memecahkan masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Oleh karena itu pemisahan kekuasaan eksekutif dan yudikatif dianggap mendesak pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.

Para hakim pada saat Umar dalam persidangan mereka memutuskan kasus dengan mengacu pada Al-Quran. Jika mereka tidak dapat menemukan Hukum dalam Quran mereka akan mencarinya dalam sunnah. Tetapi jika tidak ada di sana mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin apakah ada di antara mereka yang mengerti sesuatu dalam sunnah tentang masalah yang dimaksud. Jika mereka mendapatkannya (orang yang sangat mengerti sunnah) mereka akan berpedoman oleh apa yang dikatakan orang tersebut setelah dilakukan upaya intensif. Jika tidak mereka akan mulai secara kolektif jika subjek dari isu menyangkut dasar-dasar dan secara individual pada isu-isu domain khusus untuk individu.

Hal menarik dari pemahasan keadilan pada zaman Umar adalah masalah umar bin Khattab dengan ijtihadnya menjadi kulminasi dalam dunia hukum Islam. Ketertarikan pada bentuk ijtihad dimulai dengan munculnya bentuk ijtihad dan produk hukumnya yang relatif baru dan kontradiktif seolah-olah tidak sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi. Ijtihad Umar bin Khattab dapat dilihat dalam beberapa kasus seperti hukum pencuri, hukum tazir, perzinahan dll. Berikut kebijakan-kebijakan pidana pada masa Umar :

a.     Tidak memberi hukuman pada pencuri.

 Hukuman intimidasi atau hukuman untuk pencurian menurut hukum pidana Islam adalah hukuman potong tangan. Seperti dalam QS. al-Maidah : 38

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Terjemahnya :

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana”.

Berdasarkan ayat tersebut jelas bahwa pemotongan tangan merupakan hukuman yang telah diterapkan sejak masa kekhalifahan al-Rasyidin. Ini terjadi pada masa Umar meskipun amputasi tangan pernah dihapuskan oleh dirinya sendiri.

Pada masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan di antara orang di Semenanjung Arab. Dalam konteks masyarakat yang merasuki bahaya kelaparan ancaman hukuman terhadap pencuri yang disebutkan dalam Al-Quran tidak dilakukan oleh Khalifah Umar pada saat itu atas dasar pertimbangan situasi (situasi darurat) dan kesejahteraan jiwa rakyat.[4]

b.     Hukum Ta’zir.

 Hukum ta’zir pernah diterapkan oleh Umar yang menerapkan hukum ta’zir kepada orang yang mabuk di antaranya tercantum dalam firman Allah surah al Maidah : 90

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Terjemahnya :

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung”.

Hukuman bagi peminum tidak ditemukan nashnya dalam sejarah Quran tetapi ditemukan dalam hadits Nabi yang artinya : Dari Ibnu Abi Urubah dari Danazi, dari Huzaimi bin Mundziri dari Ali ra.: Rasulullah telah menjilid orang yang meminum khamar sebanyak 40 kali dera dan Abu bakar pula menjilid pula sebanyak 40 kali dera sedangkan Umar, mencukupkan pula sebanyak 80 kali dera.

Hukuman Peminum Khamar bermacam-macam yaitu Nabi memberikan 40 kali jilid.  Abu Bakar juga melakukan seperti Rasulullah, sedangkan Umar memberikan 80 kali jilid. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hukuman yang dijatuhkan oleh Umar bin Khattab adalah hukuman ta’zir yaitu hukuman pendidikan yang dijatuhkan oleh hakim untuk suatu perbuatan pidana yang ancaman hukuman  tidak ditentukan secara pasti.

c.     Tindak Pidana Perzinahan

Dalam syariat Islam telah ditetapkan bahwa perzinahan di mana laki-laki dan perempuan yang Muhsan (sudah menikah) dihukum dengan hukuman rajam sedangkan mereka yang ghairu muhsan (belum pernah menikah) hanya dihukum dengan 100 cambukan dan di asingkan. Surah An-Nur: 2

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

Terjemahnya :

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman”.

Walaupun pada masa Nabi pelaku zina ghairu Muhsan diasingkan, maka pada masa Umar berbeda, umar memiliki kebijakan tersendiri yaitu Umar tidak melaksanakan pengasingan bagi pelaku zina ghairu muhsan dikarenakan pelaku yang diasingkan tersebut bergabung dengan musuh pada saat itu, oleh sebab itu, umar tidak melakukan hukuman pengasingan.

Khalifah Umar bin Khattab juga pernah tidak mengeksekusi dengan Hukum Hadd Wanita yang berzina agar mendapat imbalan yaitu berupa uang lantaran desakan hidup.

d.     Orang yang murtad

Khalifah Umar bin Khattab menerapkan kebijakan Hukum yaitu seorang murtad yang tetap teguh dengan kemurtadannya itu hanya dapat dijatuhi hukuman penjara saja bukan hukuman mati.

e.     Hukuman orang yang membunuh

Pasa suatu saat terjadi peristiwa seorang membunuh dengan sengaja orang lain. Dan ahli waris si korban memaafkan sang pelaku, sehingga pelaku tidak kena hukum qisas. Meski demikian Umar bin Khattab memutuskan sang pelaku dikenai hukuman pidana cambuk sebanyak 100 kali dan hukuman penjara selama satu tahun.

 

C.    Hukum Pidana Islam Pada Masa Utsman bin Affan

Saat Umar wafat Utsman bin Affan terpilih sebagai khalifah ketiga dari Khulafa al-Rasyidin. Utsman memerintah umat Islam lebih lama dari tiga khalifah lainnya. Dia memerintah selama 12 tahun. Pada masa pemerintahannya sejarah telah mencatat banyak kemajuan dalam berbagai aspek bagi umat Islam. Selama pemerintahannya beliau menghadapi suatu kasus, maka ia mengikuti jejak yang diambil oleh khalifah sebelumnya.[5]

 Khalifah Utsman mengikuti langkah-langkah yang diambil oleh Khalifah Umar tentang pemilihan qadhi dan begitu pula ia selalu mendasarkan keputusannya pada Al-Quran dan sunnah. Jika hal ini tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Sunnah maka ia mengadakan diskusi dengan para sahabat untuk menetapkan suatu hukum. Kebijakan hukum pidana khalifah Utsman :

a.     Utsman pernah melaksanakan kebijakan hukum, berupa hukuman pidana mati terhadap orang yang melakukan praktik sihir serta tidak mau bertobat.

b.     Ada sebuah insiden di mana seorang Muslim dengan sengaja membunuh orang kafir Dzimmiy. Setelah melalui pemeriksaan Khalifah Utsman in Affan memutuskan bahwa orang tersebut bersalah karena sengaja membunuh kafir dzimmiy dan menjatuhkan hukuman qisas.

c.     Ada sebuah insiden dimana Ubaidillah bin Umar membunuh al-Hurmuzan Yazdan. Hal ini dilakukan oleh Ubaidillah karena ia berprasangka bahwa al-Hurmuzan Yazdan adalah yang membunuh ayahnya. Setelah diperiksa ternyata al-Hurmuzan Yazdan adalah seorang laki-laki yang hidup sebatang kara tanpa ahli waris. Menyikapi insiden tersebut Ali bin Abi Thalib menyatakan pendapatnya bahwa Khalifah Utsman bin Affan harus menghukum Ubaidillah dengan qisas. Sang Khalifah membantah pandangan Ali bin Abi Thalib berpendapat: “Aku benar-benar malu karena ayahnya baru saja terbunuh kemarin dan sekarang aku harus membunuh anaknya”. Oleh karena itu Khalifah Utsman bin Affan memutuskan untuk memaafkan Ubaidillah pelaku pemunuhan dan membayar diyat yang dananya diambil dari kantor kas negara.[6]

 

D.    Hukum Pidana Islam Pada Masa Ali bin Abi Thalib

Demikian pula pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib beliau mengikuti jejak para khalifah sebelumnya dan beliau selalu berpesan kepada para hakim-hakim akan kewajibannya untuk menunaikan kewajibannya berdasarkan keadilan dan cinta kasih kepada masyarakat.

 Ali menetapkan hukum di antara orang-orang Medinah. Ketika meninggalkan Basra ia mengangkat Adullah bin Abbas sebagai penggantinya di Madinah dan Abul Aswad ad-Du’ali dalam urusan pemerintahan di Basra dan secara bersamaan di bidang peradilan. Selain itu ad-Du’ali juga diperintahkan untuk menyusun kitab tentang dasar-dasar Nahwu. Ali juga sangat memperhatikan para gubernur dan hakim dengan nasihat dan arahan mereka. Maka wajar jika disejarah menunjukkan kecerdasan dan kejeniusannya, kebenaran dan keadilan pemikirannya menegakkan kebenaran dan menegakkan keadilan. Kebijakan hukum pidana khalifah Ali bin Abi Thalib :

a.     Ada suatu kejadian dimana seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki padahal ia masih menjadi istri dari laki-laki lain. dimana masalah status tersebut dirahasiakan. Rahasia itu akhirnya terungkap sehingga kasus itu diserahkan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib. Khalifah memutuskan bahwa wanita itu dihukum  rajam karena dia tahu dan menyadari perilaku ilegalnya sedangkan pria itu dihukum 100 kali cambukan bukan  rajam karena ketidaktahuannya tentang status wanita tersebut.

b.     Ada kejadian ketika empat orang datang untuk melaporkan perkara zina seorang pria dengan seorang wanita kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib. Selama pemeriksaan khalifah tiga orang di antara mereka mengatakan bahwa mereka telah menyaksikan perzinaan itu dengan mata kepala sendiri sementara yang satu mengatakan bahwa mereka hanya melihat pria dan wanita itu tidur  dalam selimut yang sama. Berdasarkan fakta-fakta tersebut Khalifah memutuskan bahwa ketiga orang itu dijatuhi hukuman 80 cambukan karena kejahatan qadzaf (tuduhan palsu zina); dan laki-laki dan perempuan dihukum ta’zir karena tidur bersama dengan orang yang bukan muhrim bukan karena zina.

c.     Suatu kejadian terjadi ketika seseorang memegang  tubuh korban saat sedang diburu oleh si pembunuh dan akhirnya  korban dibunuh oleh si pembunuh. Setelah melalui proses peninjauan Khalifah Ali bin Abi Thalib memutuskan bahwa pelaku yang langsung menyebabkan kematian korban dikenakan qisas dan yang memegang korban divonis penjara seumur hidup.

d.     Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah menganut aturan hukum bahwa unsur membunuh dengan sengaja tidak mungkin terwujud pada pelaku yang berpenyakit gila dan oleh anak-anak sehingga unsur kesengajaan cocok dengan unsur melupakan ; dan denda atas kerusakan (diyat) yang harus dibayar oleh keluarga orang gila dan anak tersebut.[7]

e.     Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah mengambil kebijakan berupa arahan kepada gubernur yang isi utamanya adalah kemungkinan penerapan hukuman mati sebagai hukuman bagi terpidana Tazir yang meminum minuman khamar yang meyakini khamar halal dan bersekukuh dengan keyakinan tersebut.


Kesimpulan

Khulafaurrasyidin banyak melaksanakan reformasi hukum pidana Islam berbasis kemaslahatan melalui proses ijtihadiah. Kedudukan Hukum Pidana Islam pada masa Khulafaurrasyidin dipandang sebagai kebutuhan masyarakat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat hidup dalam bermasyarakat dan kehidupan masyarakat akan terganggu tanpa ditegakkannya Hukum Pidana Islam. Dengan demikian ada kesepakatan di kalangan umat Islam (ijma’) bahwa penegakkan hukum pidana islam merupakan tradisi yang harus diikuti.

Hukum Pidana Islam di masa Khalifah yang satu dengan yang berikutnya selalu maju selangkah mengalami perkembangan dengan memperhatikan kemaslahatan umat islam. Dasar dalam pemecahan masalah pada masa kekhalifahan al-Rasyidin adalah para khalifah pertama mencari ketentuan hukumnya dalam kitab suci Al-Quran. Jadi jika mereka tidak menemukan ketentuan hukumnya dalam kitab suci Al-Quran maka mereka mencarinya dalam sunnah Nabi dan jika tidak menemukannya, mereka akan menemukan hukumnya dengan berijtihad pada masalah yang mereka hadapi.



[1] Sahid. 2015. Epistemologi Hukum Pidana Islam Dasar-dasar Fiqh Jinayah. Surabaya: Pustaka Idea. hlm 6.

[2] Djamila Usup. Peradilan Islam Pada Masa Khulafa Al-Rasyidin, Manado. hlm 3.

[3] Sam’un, Konstruksi Historis Hukum Pidana Islam (Formulasi Hukum Pidana Islam Dalam Lintasan Sejarah), Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam Volume 1, Nomor 2, Oktober 2011. hlm 168

[4] Djamila Usup. Peradilan Islam Pada Masa Khulafa Al-Rasyidin, Manado. hlm 7.

[5] Fitri Wahyuni. 2018. Hukum Pidana Islam Aktualisasi Nilai-Nilai Hukum Pidana Islam Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Tengerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama. hlm 142.

[6] Sam’un. Op. cit. hlm 170.

[7] Sam’un. Op. cit. hlm 173.

Komentar